Kenali dan sikapi pelecehan seksual anak dengan tepat
Suatu hari seorang guru TK menelpon, mengatakan seorang bocah empat tahun vaginanya dimasuki obeng. Saya sarankan untuk memeriksakannya secara hati-hati agar anak tidak takut dan membicarakannya dengan psikolog. Ketika di bawa ke dokter, tak ada tanda yang memperlihatkan hal itu. Sesudahnya baik orang tua mau pun psikolog tidak menindak lanjuti masalah itu., ‘Tidak apa-apa kog” begitu jawaban yang saya terima.
Suatu hari seorang guru TK menelpon, mengatakan seorang bocah empat tahun vaginanya dimasuki obeng. Saya sarankan untuk memeriksakannya secara hati-hati agar anak tidak takut dan membicarakannya dengan psikolog. Ketika di bawa ke dokter, tak ada tanda yang memperlihatkan hal itu. Sesudahnya baik orang tua mau pun psikolog tidak menindak lanjuti masalah itu., ‘Tidak apa-apa kog” begitu jawaban yang saya terima.
Saya bisa
memahami mereka, namun resah terhadap nasib si kecil. Kerap kita tidak siap
menerima kenyataan pelecehan seksual terhadap anak. Kita bersikap entah
mengabaikannya atau memperlihatkan respon kewalahan. Meski hal itu menyentak
kesadaran kita, kalau jujur kita sukar menerima kenyataan itu. Untuk melindungi
hati dari shock oleh kisah ‘horor’ tersebut, kerap orang ‘lari’ dan
membayangkan, ‘Ah, andai pelecehan itu sungguh terjadi, pastilah bukan di kota ini,’ atau ‘Itu khan
hanya menimpa kalangan tertentu, bukan seperti kita-kita ini.’ Semua itu
tidak benar! Pelecehan seksual terjadi di kota kita, di kampung kita, di dalam
keluarga kita, bahkan ditempat yang dianggap kental nilai religiusnya seperti
di lingkungan Gereja atau pesantren.
Syukurlah
media kini semakin peduli, namun perlu disertai kesiapan dari pihak kita untuk
menyikapinya. Kita perlu tahu respon yang lebih bijak ketika mendengar ungkapan
anak mengenai pelecehan yang dialaminya. Inilah langkah awal yang penting. Jika
respon kita salah, maka pelecehan takkan pernah diungkapkan lagi, dan anak-anak
kita semakin menderita.
Menurut riset,
anak laki-laki dan perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual berusia
sejak bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka
kenal dan percayai. Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak
selalu jelas. Ada
anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan
bersikap ‘manis’ dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.
Pelecehan
seksual terhadap anak memang tidak memperlihatkan bukti mutlak, meski pun
demikian jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus
menerus dalam jangka waktu panjang, perlu segera mempertimbangkan kemungkinan
anak telah mengalami pelecehan seksual.
Tanda dan indikasi
Balita
Tanda-tanda fisik, a.l:
memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, dan penyakit kelamin serta
sakit kerongkongan tanpa penyebab yang jelas, bisa merupakan indikasi seks oral.
Tanda perilaku emosional dan sosial, a.l: Sangat takut pada siapa saja, atau pada
tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba,
gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, ‘ngompol’), menarik diri atau depresi
serta perkembangannya terhambat
Anak usia prasekolah
Gejalanya sama
ditambah tanda-tanda berikut:
Tanda fisik, a,l.: perilaku regresif seperti mengisap jempol, hiperaktif,
keluhan-keluhan somatik, seperti sakit kepala yang terus menerus, sakit perut,
sembelit.
Tanda perilaku emosional dan sosial
Kelakuan yang
tiba-tiba berubah, ungkapan langsung anak mengenai sakit karena perlakuan
seksual.
Tanda perilaku seksual
Masturbasi
berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas
seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang
aktivitas seksual. Rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual
Anak usia sekolah,
Memperlihatkan
tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar seperti susah
konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu,
tidak percaya pada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan
tidur, mimpi buruk dan tak suka disentuh serta menghindari hal-hal sekitar buka
pakaian.
Remaja
Tandanya sama
dengan di atas, ditambah kelakuan yang
merusak diri sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan diri,
berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan
dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.
Bagaimana seorang anak menghadapi dilemma ini? Sebagai
anak tentu saja ia tak berani
menyalahkan orang tuanya, ia takut ditinggalkan. Bukankah orang tua itu
seharusnya baik? Oleh karena itu sikap satu-satunya adalah menyalahkan diri
sendiri. Perasaan ini menumbuhkan rasa cinta sekaligus benci dalam diri anak.
Itulah satu-satunya cara seorang anak melindungi dirinya sendiri agar tetap
hidup.
Lebih jauh lagi,
peristiwa pelecehan itu dan ancaman ”Kalau kamu buka mulut….,” sangat berhasil
membalik peran. Bukannya orang tua yang memenuhi kebutuhan anak dan bertanggung
jawab atas masa depannya, malahan anaklah yang harus memenuhi kebutuhan orang
tua sekaligus memikul tanggung jawab atas masa depan keluarga. Tragis bukan?
Membuka Tindak Pelecehan
Mengatakan
peristiwa pelecehan yang dialami merupakan hal yang paling sukar dilakukan oleh
anak. Anak kecil dapat secara tak sengaja mengatakannya tanpa menyadari akibat
yang dikatakannya. Anak yang lebih besar bisa jadi dengan sengaja mengatakannya
dengan harapan menghentikan pelecehan yang dialaminya tanpa mempedulikan
dampaknya. Sedangkan orang dewasa mungkin mengatakannya ketika kemarahan
meledak dalam suatu pertengkaran.
Ada
sejumlah alasan yang membuat anak sukar membuka pelecehan yang dialaminya.
Secara umum karena anak diancam. Jika ia membuka rahasia maka hal yang buruk
akan menimpanya. Ancaman itu beragam kedalaman dan dampaknya, “Kalau buka
mulut, aku tak lagi menjadi temanmu.””Ibumu nggak bakalan percaya
omonganmu.””Aku akan dipenjara.””Aku akan membunuhmu.” Anak kecil menerima
ancaman itu sebagai suatu kebenaran.
Jane, umur 14,
mengatakan kalau ia dilecehkan secara seksual oleh teman baik orang tuanya.
Menjelang sidang pengadilan, ia mengatakan kepada terapisnya bahwa tidak mau
memberi kesaksian. Ketika hari pengadilan semakin dekat, ia melarikan diri.
Nyatalah dia amat ketakutan bersaksi di depan orang yang telah melecehkan. Saat
kembali, ia mengatakan kepada terapis, kalau dia bersaksi, pelaku mengancam
akan membunuh ibunya.
Bagaimana menyikapi anak yang membuka pelecehan yang dialaminya?
1. Jagalah, jangan sampai anak terkejut oleh respon anda
Jika anak
membuka rahasia kepada anda, penting menyadari reaksi anda sendiri dan anak itu
sendiri. Anda juga perlu tahu apa yang mesti dilakukan. Mendengar apa yang
dialami anak, mungkin saja kita merasa marah, shock dan bingung. Semua itu
adalah reaksi yang normal untuk anda. Tetapi anda harus menjaga, jangan
sampai anak terkejut oleh respon kuat anda. Jika anda dikuasai oleh
perasaan anda sendiri, bicaralah kepada rekan yang anda percayai. Kalau anda
merasa tak mampu berbicara dengan si anak, minta tolong ahli untuk mengolah perasaan
anda sendiri atau memintanya berbicara dengan si anak. Anda dapat mengatasi
perasaan kewalahan itu bila semakin terbiasa dengan tema tersebut atau dengan
banyak membaca topik di sekitar pelecehan seksual.
Dapat terjadi
anda kenal baik dengan si pelaku dan dekat dengannya. Jangan mengulangi
kesalahan yang pernah dibuat Freud dengan menutupi apa yang sebenarnya terjadi,
atau mengungkapkan rasa tak percaya. Jika anak menangkap ekspresi itu, ini
hanya akan menguatkan anggapan anak mengenai dirinya sendiri,’pastilah ada yang
salah pada diriku’. Kemungkinan
besar ia tak lagi mau membuka mulut juga pada orang lain di masa depan.
2. Percaya apa yang dikatakan anak
Ketika anak-anak
membuka rahasia pelecehan, hampir semua dipastikan mengandung kebenaran. Mereka
kadang mengatakan sedikit apa yang terjadi, untuk melihat bagaimana reaksi
kita. Kadang apa yang dikatakan itu mengungkapkan kejadian yang telah berulang.
Dodi,umur lima tahun, pertama kali
mengatakan pengalaman pelecehan seksualnya saat bermain dengan boneka. Ia
mengambil sebuah boneka, yang dipanggilnya sebagai ‘Ayah’ sedang menyentuh
boneka kecil/bayi. Baru setelah terapi berlangsung selama tiga bulan,
ceriteranya berkembang, mengindikasikan bayi boneka melakukan oral seks pada
ayah boneka. Akhirnya dia dapat mengatakan bahwa ayah tirinya kerap
mendatanginya di waktu malam dan melakukan hal itu kepadanya.
Kalau anak
tampak kacau dan ceritanya tak logis, adalah wajar karena anak belum mempunyai
kepekaan seperti orang dewasa. Perlihatkan pada anak, bahwa menceriterakan hal
itu adalah perbuatan yang benar.
3. Jangan desak anak untuk menceriterakan detil pengalamannya
Anak harus
diyakinkan, kalau dia tak bersalah. Hal ini tak
mudah melakukannya, karena anak kerap menganggap dirinyalah penyebabnya.
Apa yang kulakukan sehingga dia berbuat beguni padaku? Aku tidak tahu, tapi
pastilah ada yang salah pada diriku”
4. Berhati-hatilah, jangan perlihatkan ekspresi marah anda terhadap pelaku
Sebaiknya kita
membedakan antara orang dan kelakuannya. Steve, 12 th. Dalam sesi konseling di
sekolah, mengatakan kalau ia dilecehkan oleh kakeknya sendiri. Steve membuka
rahasia ini karena habis bertengkar dengannya. Tanpa pikir panjang, si konselor
memperlihatkan kemarahannya pada si kakek. Steve terkejut oleh reaksi itu, segera
keluar dan hari itu ia menghilang. Malam hari ia ditemukan di taman belakang
sekolah. Sambil menangis tersedu-sedu ia mengatakan kalau sangat cinta pada
kakek
5. Jika berbicara dengan anak, gunakanlah bahasa anak, jangan menggunakan bahasa kita pada anak.
Barangkali kita
mengira tahu apa yang dikatakan anak, tetapi persepsi anak bisa jadi berbeda.
Ketika Yuli, 3 tahun, mengatakan ‘bokong’, yang dimaksudkannya adalah
vaginanya. Susi, 4 tahun, bicara tentang boneka kura-kura yang dimainkannya di
kamar mandi, padahal yang mau dikatakannya adalah penis pamannya.
6. Perlihatkan pada
anak kesungguhan anda untuk mendukungnya.
Anak perlu
dilindungi agar pelecehan tidak berlanjut. Katakan pada anak, bahwa anda akan
mengatakan apa yang diceriterakannya pada orang lain agar anak selamat. Jangan
buat janji untuk merahasiakan ceritera pelecehan seksual yang dialami anak.
Kejadian itu adalah tindak kriminal. Di sini tidak berlaku hukum
kerahasiaan.Bahkan seoang pastor katolik yang memegang kerahasiaan secara absolut
dalam pengakuan dosa, bilamana ia mendengar kasus ini, hendaknya ia berusaha
agar pembicaraan berlangsung di luar konteks pengakuan dosa.
Catatan:
- Naskah ini saya tulis berdasarkan berbagai sumber
- Naskah ini pernah dimuat oleh Koran KOMPAS beberapa tahun yang lalu. Mengingat semakin meluasnya kekerasan seksual terhadap anak dalam masyarakat, maka saya tampilkan kembali, semoga membantu dalam menyelamatkan anak-anak kita dari pengalaman kejam tersebut.
Januari 2013
Dewi Minangsari
*** Anda ingin menciptakan hidup menjadi lebih bermakna? Lakukan segera.
Berbicaralah dengan konselor yang akan mendampingi Anda menjernihkan kehidupan
Anda. Silakan kontak di email : dminangsari@yahoo.co.uk .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar